Sabtu, 13 Maret 2010

1000 Ulama Jawa Barat Tolak Kedatangan Obama


Sebanyak 1.000 ulama Jawa Barat sepakat untuk menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Mereka menilai, AS yang dipimpin Obama adalah bangsa penjajah negara-negara Islam, Sabtu (13/3). Sekitar 1.000 Ulama se-Jawa Barat menolak kedatangan Presiden Barack H. Obama ke Indonesia. Mereka menganggap bahwa Obama adalah pemimpin penjajah negara-negara Islam. Ini merupakan bentuk solidaritas mereka terhadap pembantaian yang terjadi di negara-negara muslim yang menganggap Obama ada di balik pembantaian ini.
Read More..

Jumat, 12 Maret 2010

Mahasiswa BKLDK Surabaya menolak kedatangan Obama

Surabaya - Ratusan mahasiswa di Surabaya yang tergabung dalam Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK), menggelar aksi di depan gedung Konjen Amerika Serikat di Jalan dr Soetomo. Mereka menolak kedatangan Presiden AS Barack Obama.
Obama. "Tolak tolak Obama, tolak Obama sekarang juga. Usir Obama, usir Obama sekarang juga," teriak Korlap BKLDK, Fery Fauzi, saat memberikan orasi di atas mobil pick up, Jumat (12/3/2010).

Fery mengatakan, mahasiswa akan menyambut Obama, tapi dengan cara pengusiran dari Indonesia. ''Amerika saat ini adalah negara penjajah nomor satu di dunia. Obama juga mendzolimi muslim di Afganistan, Palestina, Irak. Obama juga tidak berbeda dengan Bush,'' ungkapnya

Menurutnya, Obama tidak layak disambut mulia di Indonesia. ''Karena Amerika sumber masalah di Indonesia. Kalau ada yang menyambut, berarti antek-antek penjajah,'' jelasnya.

Selain melakukan orasi, massa BKLDK juga mengusung berbagai poster, diantaranya 'Obama Musuh Umat Islam'', ''Kick him out From Indonesia, Obama sang penjajah' dan berbagai poster lainnya.

Aksi demo para mahasiswa ini membuat arus lalu lintas Jalan dr Soetomo dari arah Polisi Istimewa maupun dari arah Diponegoro ditutup total. Pasalnya, massa melakukan aksinya di dua jalur Jalan Dr Soetomo. Aksi ini juga mendapatkan penjagaan ketat dari Polwiltabes Surabaya, Polres Surabaya Selatan dan jajaran polsek.(detiksurabaya.com)

sumber:

http://nasional.vivanews.com/news/read/136108-konjen_as_surabaya_digoyang_penolak_obama

http://surabaya.detik.com/read/2010/03/12/151014/1317216/466/lembaga-dakwah-kampus-tolak-obama-ke-indonesia

http://www.suarasurabaya.net/v06/kelanakota/?id=8b172f8ed63bafd08bc73fc1dd5766e3201074554

http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/12142/Mahasiswa-Surabaya-Tolak-Obama-Datang-ke-Indonesia.jp

http://news.okezone.com/read/2010/03/12/340/312008/masyarakat-halang-halangi-orang-bertopeng-obama
Read More..

Menyoal Buku “Metodologi Studi Al-Quran”

SETELAH menerima penolakan mentah dari kaum cerdas muslim terhadap proyek yang lama bernama “Fikih Lintas Agama”, oleh kelompok Islam liberal, kini muncul ‘proyek baru’ yang dirilis oleh kolaborasi baru dengan mengusung lagu lama. Lahirnya buku baru berjudul “Metodologi Studi Al-Quran”.
Oleh: MS. Yusuf al-Amien*


Mungkin dahulu konsep “Fikih Lintas Agama” tidak banyak disambut oleh masyarakat karena tidak ilmiah dan terlalu kelihatan mengada-ada. Bagaimana mungkin terwujud sebuah “lintasan” fikih antaragama, sedangkan “fikih” itu sendiri tidak terdapat, kecuali dalam agama Islam.

Sungguh sebuah konsep yang sangat menggelikan, namun susah untuk mengundang tawa. Oleh karenanya, mereka lalu menciptakan arasemen yang lebih kalem dengan judul yang lebih renyah sehingga diharapkan banyak orang yang welcome menerimanya. Munculah buku “Metodologi Studi Al-Quran” tersebut.

Jika ditilik, tak banyak hal baru dalam buku ini. Secara garis besar masih mengangkat isu lama, hanya ditambah sedikit polesan di sana-sini, seperti upaya desakralisasi Al-Quran dan penyamaannya dengan teks-teks lain, upaya penafsiran ayat muhkamat dengan “suka-suka gue”, dan juga upaya pemelintiran pendapat ulama dengan mencomot kosa-kata luarnya lalu meninggalkan kandungan maknanya. Semuanya hanya metode tempoe doeloe yang telah expired.

Buku yang ditulis oleh tiga personel aktivis Islam Liberal ini –Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar-Abdalla–; layaknya sebuah novel silat dengan Tiga “Pendekar” yang menggunakan jurus-jurus “mabuk” untuk menaklukkan para pemuja teks. Penulis secara terang-terangan menyebutkan nama sebuah gerakan di Indonesia yang berjuang menegakkan khilafah, lalu menempatkannya sebagai tokoh antagonis yang harus dilawan.

Secara pribadi, penulis ingat trio penulis buku ini dengan penyanyi yang sering dipanggil “Trio Kwek-Kwek”. Selain lucu dan lebih enak didengar, mungkin juga karena nama mereka masih belum layak disebut “tiga pendekar”.

Alasan ini karena, argumen-argumen mereka tidak inovatif, dan telah usang. Sebab, umumnya argumen-argumen kaum liberal sudah banyak dibantah ahli fikih dan pakar pemikiran Islam. Meski demikian, toh tak pernah ada yang meralat pikirannya dan terus “memaksakan” diri mengkampanyekan ide-ide liberal. Penulis menilai, seolah para penulis liberal seperti ini bisanya hanya “membebek” kepada segelintir orientalis dalam upaya meruntuhkan pondasi Islam.

Sebagaimana tema yang diangkat oleh Luthfi –salah satu penulis buku ini– tentang pengkritisan terhadap sakralitas Al-Quran, ada pertanyaan jujur yang harus saya sampaikan pada mereka, sebenarnya ada apa dengan Al-Quran hingga harus dikritisi segala? Apakah kita tidak percaya dengan ayat; “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa [4]: 82).

Lalu permasalahan di atas dilanjutkan oleh Ulil –penulis kedua buku ini– saat membahas tentang “insiden gramatikal” dalam Al-Quran yang menurutnya menyalahi kaidah dasar Bahasa Arab. Seperti dalam surat Al-Maidah ayat 69 yang berbunyi “inna al-ladzina amanu wa al-ladzina hadu wa al-shabi’una”. Dalam pandangannya kata “wa al-shabi’una” telah menyalahi kaidah bahasa Arab yang seharusnya dibaca “wa al-shabi’ina” (bukan wa al-shabi’una).

Lagi-lagi penulis kedua ini juga tak lebih dari sekedar ber”kwek-kwek” dengan mengangkat isu kadaluwarsa dalam mengkritisi “sakralitas” Al-Quran. Tema di atas sebenarnya telah lama dibahas oleh para pakar bahasa, Prof. Dr Abdul Adzim al-Math’aniy dalam kitab “Haqaihu’l Islam fi Muwajahati’l Syubhat al-Musyakkikin” (Kebenaran Ajaran Islam dalam Menghadapi Argumen Kaum Skeptis). Ia sudah mengatakan bahwa terdapat setidaknya sembilan pendapat pakar Nahwu dan ahli Tafsir dalam menjelaskan kata “al-shabi’una” tersebut sehingga dibaca rafa’ (al-shabi’una) dan bukan manshub (al-shabi’ina).

Di antara sembilan pendapat tersebut adalah statement mayoritas pakar Nahwu di Bashrah –seperti Pemimpin Sibawaih dan al-Khalil beserta para pengikut mereka– yang menjelaskan bahwa kata “al-shabi’una” berada dalam posisi mubtada’ dengan khabar-nya yang mahdzuf (tersembunyi) dan bukan dalam posisi manshub. Mereka (para pakar Nahwu di Bashrah) kemudian memaparkan secara detail disertai argumen ilmiah berupa bukti kongkrit bahwa penerapan kaidah seperti itu tidaklah menyalahi gramatikal bahasa Arab karena bangsa Arab sejak dahulu telah mengenalnya dan bahkan menggunakannya dalam syair-syair mereka.

Ayat di atas adalah satu dari beberapa ayat yang mereka anggap tidak sesuai dengan lingustik bangsa Arab. Naifnya, mereka menyatakan itu semua sebagai sebuah kajian murni dari kitab “al-Itqan fi Ulum Al-Quran” milik Pemimpin Jalaluddin al-Suyuthi. Padahal jika kita telaah kitab tersebut, Pemimpin Suyuthi sama sekali tidak pernah mengatakan ini sebagai bentuk kontradiksi ayat Al-Quran. Ia juga tidak menyatakan adanya “kecelakaan” dalam tata-bahasa Al-Quran. Yang artinya, Al-Quran adalah mukjizat sempurna tanpa kesalahan. Sebagaimana ia tegaskan sendiri dalam mukaddimah kitab tersebut; “…kitab paling berharga, paling banyak mengandung ilmu, paling indah tata-bahasanya, yaitu Al-Quran yang berbahasa Arab tanpa cela, (Al-Quran) bukanlah makhluk dan tiada yang menandinginya…”

Sayang, uraikan pakar Islam itu diabaikan para “Trio Kwek-Kwek”. Ulil tak hanya berhenti dengan memfitnah pemimpin Suyuthi, ia bahkan menyatakan saat membedah buku ini di Teater Utan Kayu; bahwa studi Al-Quran yang dikembangkan oleh ulama kontemporer seperti Wahbah Zuhaily, Abdul Wahhab Khallaf, dan Yusuf al-Qaradhawi dinilai kurang, bahkan tidak berkembang sama sekali. Maaf, saya tak bersu’udzon, ilmu Ulil, tak sebanding dengan ketiga ulama yang ia sebut itu.

Ungkapan penulis bahwa mereka layak disebut “Trio Kwek-Kwek” bisa dilihat dari pernyataan Ulil sendiri yang mengatakan bahwa studi ilmiah Al-Quran yang cukup menantang justru datang dari para Orientalis. Seperti Theodor Noldeke yang menawarkan penyusunan ulang kronologi surat-surat Al-Quran yang berbeda sama sekali dengan kronologi dalam mushaf kita sekarang.

Dari sini kelihatan jelas bahwa Ulil telah kehilangan daya kritisnya sampai titik nadir sebagai seorang muslim. Begitu kasihan, sehingga ia sangat gagap melihat para Orientalis (yang sampai kiamat tak akan pernah meyakini Islam dan Al-Quran) tersebut mengobok-obok ayat Suci Al-Quran. Ulil seolah terkesima Orientalis dan mengecilkan arti ulama sekelas al-Qaradhawi atau Wahba Zuhaily.

Di sisi lain Ulil terkesan pura-pura lupa. Jika benar ia telah mengkaji “al-Itqan” milik Suyuthi dengan seksama, tentu ia akan membaca pendapat Suyuthi yang menyatakan bahwa penempatan Ayat dan Surat dalam Al-Quran merupakan hal tauqify yang tak bisa diotak-atik karena penyusunan tersebut berdasarkan wahyu dari Allah. Jadi sebenarnya Ulil hanya melakukan permainan lompat kesana-kemari sesuai kondisi psikologinya, tidak memiliki kosistensi yang teguh untuk berada dalam sebuah keyakinan pasti.

Di akhir buku ini tampillah Moqsith sebagai personel terakhir dengan menawarkan rumusan kaidah tafsir ala JOL (istilah baru pengganti “JIL”). Dalam acara diskusi membedah buku ini di UIN Sunan Kalijaga 21 Desember 2009 silam, Moqsith juga menjelaskan bahwa Maqashid al-Syariah (tujuan utama syariat) tidak bisa dijumpai dalam lipatan-lipatan huruf dalam Al-Quran. Ia lalu memberikan contoh penafsiran terhadap tonggak utama Maqashid al-Syariah yaitu Hifdz al-Din (menjaga agama) dan menafsirkannya dengan “kebebasan beragama”. Tentu pendapat ini merupakan interpretasi baru yang menyalahi kaidah dasar Maqashid al-Syariah sebagaimana telah disepakati oleh seluruh ulama otoritatif sepanjang masa.

Dan jika kita rujuk kepada pendapat bapak Maqashid al-Syariah itu sendiri, yaitu Imam Syatibi dalam kitabnya “al-Muwafaqat”, maka akan kita temui bahwa Hifdzu al-Din merupakan upaya menjaga kelanggengan agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Quran dan terperinci dalam as-Sunnah. Imam Syatibi juga memberi contoh bahwa Hifdzu al-Din dapat diaplikasikan dalam bentuk mengikrarkan dua Syahadat, shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan seterusnya.

Hal di atas merupakan Hifdzu al-Din dalam tataran mempertahankan apa-apa yang telah mapan dalam agama (defensif), tapi dalam tataran menjaga kelanggengan Islam dari serangan luar (ofensif) Pemimpin Syatibi juga menjelaskan bahwa Hifdzu al-Din dalam konteks ini dapat terwujud dalam bentuk Jihad melawan musuh yang telah memerangi Islam maupun memberikan sanksi kepada penyeru bid’ah. Dengan demikian “kebebasan beragama” ala Moqsith adalah penafsiran yang tak lebih dari sebuah “kwek-kwek” semata.

Selain itu, Moqsith juga menyatakan bahwa formalisasi syariat di Indonesia berdampak sangat berbahaya, dengan contoh bahwa Perda di Aceh memutuskan pezina muhshan (orang yang pernah menikah) dirajam, sementara pelaku perkosaan hanya dihukum 100 kali cambuk. “Tentu saja ini tidak fair”,” katanya. Di sini Moqshit pura-pura tidak tahu (atau jangan menyembunyikan fakta) bahwa sesungguhnya pelaku perkosaan yang muhshan juga mendapat hukuman rajam.

Justru sebenarnya Moqsith yang tidak fair dan tidak proporsional dalam memahami kasus rajam. Karena sesungguhnya seluruh hukuman yang disyariatkan Allah di dunia, termasuk rajam merupakan kafarat (penghapus dosa) bagi pelakunya, sebagaimana dikatakan Rasulullah setelah merajam Ma’iz bin Malik al-Aslamiy –salah seorang sahabat yang muhshan namun masih melakukan zina– bahwa; “Aku melihat Ma’iz kini tengah berendam di sungai-sungai Surga”. Artinya, “siksaan” yang harus diterima oleh Ma’iz di akhirat telah ia bayar di dunia dengan rajam yang jauh lebih ringan. Beginilah keadilan dalam Islam itu, namun hal ini tentu akan susah dipahami oleh orang yang tidak percaya akan akhirat.

Sebenarnya, “Trio Kwek-Kwek” bukanlah kolaborasi pertama yang datang untuk mengiris-iris Al-Quran, dan mungkin mereka juga bukan komplotan terakhir yang akan menyelesaikan misi ini. Walaupun ditulis dengan judul “Metodologi Studi Al-Quran”, namun sesungguhnya buku yang dibedah dan diluncurkan pada 30 November 2009 di Teater Utan Kayu tersebut sangat jauh dari semangat melestarikan Al-Quran.

Dengan demikian, butuh kacamata kritis dalam membaca buku hasil kerjasama JOL (Jaringan Orang Liberal) dengan GPU (Gramedia Pustaka Utama) ini. Hingga kita terhindar dari jebakan dalam kata-kata mereka yang terkesan “ilmiah” namun sejatinya hanyalah suara gaung tak bermutu.

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras”. (QS. Al-Baqarah [2]: 204). Wallahu a’lam Bi-s-Shawab.

Mahasiswa Jurusan Ushul Fiqh Universitas Al-Azhar Cairo

sumber : hidayatullah.com (9/3/2010)
Read More..

Kamis, 11 Maret 2010

Imlek Adalah Hari Raya Agama Kafir Bukan Sekedar Tradisi : Haram Atas Muslim Turut Merayakannya


Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Anda mungkin pernah mendengar pernyataan begini. Bahwa Imlek itu hanyalah tradisi dan bukan bagian ajaran agama tertentu. Karenanya umat Islam khususnya yang beretnis Tionghoa boleh-boleh saja merayakan Imlek. Benarkah Imlek hanya tradisi? Apakah boleh muslim turut merayakan Imlek? Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan persoalan ini kepada umat Islam, dengan menelaah ajaran agama Khonhuchu, serta menelaah hukum syariah Islam yang terkait dengan keterlibatan kaum muslimin dalam perayaan hari raya agama lain.

Imlek Bagian Ajaran Agama Khonghucu, Bukan Sekedar Tradisi Tionghoa

Memang tak jarang kita dengar dari orang Tionghoa, termasuk tokoh-tokohnya yang sudah masuk Islam, bahwa Imlek itu sekedar tradisi. Tidak ada hubungannya dengan ajaran suatu agama, sehingga umat Islam boleh turut merayakannya. Sebagai contoh, Sekretaris Umum DPP PITI (Pembina Iman Tauhid Islam), H. Budi Setyagraha (Huan Ren Cong), pernah menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi menyambut tahun baru penanggalan Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di daratan Cina. H. Budi Setyagraha berkata,”Imlek bukan perayaan agama.” (Lihat “Sekjen DPP PITI : Rayakan Imlek Jangan Berlebihan”, Kedaulatan Rakyat, Selasa, 13 Pebruari 2007, hal. 2).

Jika kita mendalami agama Khonghucu, khususnya mengenai hari-hari rayanya, akan terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.

Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) hal. vi-vii, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang memahami Hari Raya Konfusiani. Kata beliau mencontohkan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.” Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut, adalah suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).

Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi :

“Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5).

(Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).

Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Beliau mengatakan :

“Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.” (ibid.,hal. 61).

Maka tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek bukan perayaan agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.

Lagi pula, harus kami tambahkan bahwa boleh tidaknya seorang muslim melakukan sesuatu, tidaklah dilihat apakah sesuatu itu berasal dari tradisi atau ataukah dari agama. Seakan-akan kalau berasal dari tradisi hukumnya boleh-boleh saja dilakukan, sementara kalau dari agama lain hukumnya tidak boleh.

Standar semacam itu sungguh batil dan tidak ada dalam Islam. Karena standar yang benar menurut Islam, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman :

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS Al-A’raaf [7] : 3)

Kalimat “maa unzila ilaykum min rabbikum” dalam ayat di atas yang berarti “apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”, artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, [Beirut : Dar Shaadir], Juz III/2).

Jadi suatu perbuatan itu boleh atau tidak boleh dilakukan, tolok ukurnya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Apa saja yang benar menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti boleh dikerjakan. Sebaliknya apa saja yang batil menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti tidak boleh dilakukan.

Maka kalau kita hendak menilai perbuatan muslim turut merayakan Imlek menurut Islam, tolok ukurnya harus benar. Yaitu harus kita lihat adalah apakah perbuatan itu boleh atau tidak menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan melihat apakah Imlek itu dari tradisi atau dari agama.

Sungguh kalau seorang muslim menggunakan tolok ukur tadi, yaitu melihat sesuatu itu dari tradisi atau agama, ia akan tersesat. Sebab suatu tradisi tidak selalu benar, adakalanya ia bertentangan dengan Islam dan adakalanya sesuai dengan Islam. Contoh, free sex pada masyarakat Barat yang Kristen. Free sex jelas telah menjadi tradisi Barat, meski perbuatan kotor itu bukan bagian agama Kristen/Katholik, karena agama ini pun mengharamkan zina. Lalu, apakah karena free sex itu sekedar tradisi, dan bukan agama, lalu umat Islam boleh melakukannya? Jelas tetap tidak boleh, bukan?

Walhasil, mari kita gunakan barometer yang benar untuk menilai suatu perbuatan. Barometernya, bukan dilihat dari segi asalnya apakah suatu perbuatan itu dari tradisi atau agama, melainkan dilihat dari segi boleh tidaknya perbuatan itu menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah. Inilah pandangan yang haq, tidak ada yang lain.

Haram Atas Muslim Turut Merayakan Imlek

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari raya agama lain, termasuk Imlek, baik dengan mengikuti ritual agamanya maupun tidak, termasuk juga memberi ucapan selamat Gong Xi Fat Chai. Semuanya haram.

Imam Suyuthi berkata,”Juga termasuk perbuatan mungkar, yaitu turut serta merayakan hari raya orang Yahudi, hari raya orang-orang kafir, hari raya selain orang Arab [yang tidak Islami], ataupun hari raya orang-orang Arab yang tersesat. Orang muslim tidak boleh melakukan perbuatan itu, sebab hal itu akan membawa mereka ke jurang kemungkaran…” (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91).

Khusus mengenai memberi ucapan selamat, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,”Adapun memberi ucapan selamat yang terkait syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama, misalnya memberi selamat atas hari raya atau puasa mereka...” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, [Beirut : Darul Kutub Al-'Ilmiyah], 1995, Juz I/162).

Dalil Al-Qur`an yang mengharamkan perbuatan muslim merayakan hari raya agama kafir di antaranya firman Allah SWT :

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “laa yasyhaduuna az-zuur” dalam ayat tersebut menurut Imam Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah tidak menghadiri kebohongan (az-zuur), bukan memberikan kesaksian palsu. Dalam bahasa Arab, memberi kesaksian palsu diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna bi az-zuur. Jadi ada tambahan huruf jar yang dibaca bi. Bukan diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna az-zuur (tanpa huruf jar bi). Maka ayat di atas yang berbunyi “laa yasyhaduuna az-zuur” artinya yang lebih tepat adalah ” tidak menghadiri kebohongan”, bukannya ” memberikan kesaksian palsu.” (M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat min Kitab Iqtidha` Shirathal Mustaqim Mukhalafati Ash-habil Jahim (terj.), hal. 59-60)

Sedang kata “az-zuur” (kebohongan) itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91-95).

Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk merayakan hari-hari raya agama lain, seperti hari Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Imam Suyuthi berdalil dengan dua ayat lain sebagai dasar pengharaman muslim turut merayakan hari raya agama lain (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92). Salah satunya adalah ayat :

“Dan sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah datangnya ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2] : 145).

Menurut Imam Suyuthi, larangan pada ayat di atas tidak hanya khusus kepada Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam secara umum. Larangan tersebut adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir [seperti turut merayakan hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92).

Adapun dalil As-Sunnah, antara lain Hadits Nabi SAW,“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits ini Islam telah mengharamkan muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka. Maka dari itu, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari-hari raya agama lain (Lihat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penjelasan Tuntas Hukum Seputar Perayaan, [Solo : Pustaka Al-Ummat], 2006, hal. 76).

Berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan Imlek dalam segala bentuk dan manifestasinya. Haram bagi muslim ikut-ikutan mengucapkan Gong Xi Fat Chai kepada orang Tionghoa, sebagaimana haram bagi muslim menghiasi rumah atau kantornya dengan lampion khas Cina, atau hiasan naga dan berbagai asesoris lainnya yang serba berwarna merah. Haram pula baginya mengadakan berbagai macam pertunjukan untuk merayakan Imlek, seperti live band, karaoke mandarin, demo masak, dan sebagainya.

Semua bentuk perbuatan tersebut haram dilakukan oleh muslim, karena termasuk perbuatan merayakan hari raya agama kafir yang telah diharamkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Himbauan Kepada Muslim Etnis Tionghoa

Terakhir, kami sampaikan seruan dan himbauan kepada saudara-saudaraku muallaf dari etnis Tionghoa, hendaklah Anda masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhannya (kaffah). Janganlah Anda -semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda semua- mengikuti langkah-langkah setan, yakni masuk ke dalam agama Islam namun masih mempertahankan sebagian ajaran lama yang dulu Anda peluk dan Anda amalkan, seperti perayaan Imlek. Marilah kita renungkan firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2] : 208)

Wallahu a’lam bi al-shawab.
Read More..

Senin, 08 Maret 2010

Memoar Seorang Tahanan Politik Aktivis Hizbut Tahrir Bernama Muhammad Yang Baru Berumur 16 Tahun

Berikut ini adalah peristiwa yang menimpa saya selama berada dalam penjara Otoritas yang zalim dan biadab:

Setelah menyebarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir berjudul, “Otorita Palestina Yang Tunduk Kepada Yahudi Menculik Dan Mengadili Para Aktivis Hizbut Tahrir“, pada hari Sabtu, 23/1/2010, saya pulang ke rumah. Dan sebelum saya sampai, aparat keamanan Abbas sudah sampai duluan di rumah. Mereka menyerahkan pemberitahuan kepada ayah saya. Surat pemberitahuan itu berisi, “Anda harus datang ke kantor investigasi kota“. Namun saya tidak menghiraukannya, dan saya pun tidak memenuhi permintaan mereka.

Dua hari kemudian, tepatnya pada hari Senin, 25\1\2010 datang ke rumah saya pasukan militer untuk menangkap saya. Sementara kemarahan tampak sekali pada diri mereka. Secara kebetulan, salah satu dari mereka ini terjatuh pada saat pengepungan rumah, dan pada saat itu pula, pemimpin mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka datang untuk menangkap saya.

Ketika itu saya tidak dalam kondisi siap, saya tidak mengenakan pakaian selain pakaian biasa, dan saya tidak memakai sepatu. Lalu, saya meminta kepada mereka untuk memakai sepatu dulu. Namun, anggota pasukan yang pada marah itu, menolak permintaan saya, bahka mereka menyeret saya ke mobil. Melihat perlakuan biadab mereka ini, maka saya mulai menghardik mereka, dan menyebutnya dengan kata-kata yang memang pantas untuk kebiadaban mereka. Mereka semakin memukuli saya, dan saya pun semakin keras menghardik merekak.

Dan, kemudian mereka memasukkan saya ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, mereka tidak henti-hentinya memukili saya, dengan tangan, kaki, dan gagang senapan mereka. Karena terlalu sakit, maka saya pun menjerit, “Cukuplah Allah bagi saya, dan Dia sebaik-baik wakil dalam melawan kalian,” “Cukuplah Allah bagi saya dalam melawan setiap orang zalim, dan mereka yang murtad.” Namun mereka semakin marah dan jengkel, serta pukulan mereka semakin keras, sehingga mereka mendaratkan gagang senjatanya ke kepala saya, punggung saya, kedua kaki saya, dan kedua tangan saya.

Kemudian mereka membawa saya masuk ke dalam markas keamanan mereka. Saya dipertemukan dengan Direktur Pusat. Dan kemarahannya terlihat jelas di wajahnya. Ia langsung menyemprot saya dengan pertanyaan, “Mengapa Anda tidak segera datang, padahal telah sampai pemberitahuan kepada Anda mengenai keharusan Anda datang di markas ini?Apakah Anda hendak meremehkan Otoritas?” Saya tidak menjawabnya. Kemudian ia mulai menanyakan saya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:

“Apakah Anda mengakui Otoritas?”

“Saya tidak akan pernah mengakui legitimasi Otoritas selamanya!” Ia pun semakin marah pada saya.

“Apakah Anda menyebarkan nasyrah atau publikasi?”

“Saya tidak menyebarkan, dan seandainya Anda memberi saya kesempatan, niscaya saya sebarkan. Namun, sayang sekali Anda tidak memberi kesempatan itu pada saya!”

“Siapa yang memberi Anda nasyrah atau publikasi itu?”

“Tidak seorang pun yang memberi nasyrah atau publikasi itu kepada aya.”

Kemuadian, ia kembali lagi ke pertanyaan semula.

“Mengapa Anda tidak mengakui legitimasi Otoritas?”

“Karena Otoritas ini dibentuk berdasarkan kesepakatan Oslo, sementara kesepakatan Oslo batal demi hukum (menurut syariah Islam). Sebab, berdasarkan kesepakatan itu, justru Otoritas telah menyerahkan Palestina kepada Yahudi, dan ini merupakan perbuatan haram. Sehingga setiap yang dibangun di atas sesuatu yang haram, maka ia juga haram, dan tidak sesuai syariah (ilegal). Oleh karena itu, bagaimana mungkin saya mengakui legitimasi sesuatu, sementara Allah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sah, dan bagaimana mungkin saya menentang perintah Allah.”

“Kemudian lihatlah tindakan Otoritas Anda, yang melakukan koordinasi keamanan dengan Yahudi; mengejar setiap orang yang ikhlas; sementara kondisi Anda sekarang justru Anda lebin mengutakana berdamai dengan Yahudi dan menjaga keamanannya, dari pada memerangi negara Yahudi, menendangnya, dan mencabut pemukiman dari akarnya, bahkan Anda menerima pembekuan pembangunannya hanya untuk sementara saja; lalu Anda mengabaikan pengembalian para pengungsi ke rumah mereka, bahkan Anda menjadikannya hanya hak untuk kembali, yang bisa saja diganti dengan kompensasi; dan setelah Anda menembaki (memerangi) Yahudi, justru Anda sekarang menandatangani perjanjian di mana Anda melarang setiap orang menembaki (memerangi) Yahudi, bahkan tidak hanya melarangnya tetapi juga menangkapnya, memenjaranya, dan tidak jarang hingga Anda membunuhnya. Kemudian, Anda menginginkan saya mengakui legitimasi semua ini, bodoh benar!!”

Ia semakin marah bahkan hingga batas yang tidak wajar. Ia tidak lagi menanggapi argumen dengan argumen, sebaliknya ia menghardik dan berteriak dengan mengeluarkat kata-kata kotor, menghina dan mencaci Hizbut Tahrir, para aktivisnya, dan amirnya. Sehingga saya tidak lagi menemukan kata-kata yang lebih buruk untuk menanggapinya.

Tidak lama kemudian, ia memanggil para algojonya. Mereka mendudukkan saya di atas kursi. Dan ia pun kembali menampari saya beberapa kali. Sementara para algojonya menjadikan tangan saya di belakang kursi, dan menariknya dengan kuat, hingga saya merasa bahwa tangan saya hampir patah. Ia berteriak, “Apakah Anda mengakui legitimasi Otoritas?” Saya juga berteriak, “Tidak! Saya tidak akan pernah mengakuinya!” Kemudian saya katakan kepadanya, “Bagaimanapun usaha Anda mengintimidasi saya dan memukuli saya, semua sia-sia saja. Sebab, saya tidak akan pernah mengakui legitimasi Otoritas, dan tidak akan pernah keluar dari Hizbut Tahrir, yang merupakan denyut nadi darah saya, bahkan seandainya Anda memotong pembuluh darah saya, niscaya Anda akan melihat darah murni Hizbut Tahrir yang mengalir, dan sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak akan pernah keluar dari Hizbut Tahrir, sebab Hizbut Tahrir ada di atas kebenaran, sementara Anda ada di atas kebatilan dan kesesatan, pemikirannya benar dan metodenya sesuai syariah.”

Kemudian pemukulan berhenti, dan saya pun diseret ke ruang investigasi, yang tampak tenang. Lalu, diajukan kepada saya beberapa pertanyaan, tentang nama saya, umur saya, alamat rumah saya, apa yang saya lakukan, dan apakah saya aktivis Hizbut Tahrir atau bukan. Saya menjawab semua pertanyaan itu. Kemudian, ia bertanya tentang penyebaran nasyrah (publikasi). Saya jawab, “Saya tidak melakukan, seandainya Anda memberi saya kesempatan, niscaya saya lakukan.” Kemudian, ia bertanya pada saya tentang siapa yang memberikan nasyrah (publikasi) itu pada saya. Saya tidak menjawab apa yang ia tanyakan.

Setelah selesai investigasi itu, kemudian saya dimasukkan ke dalam ruang tahanan. Dan pada akhir malam, Direktur Pusat datang ke ruang tahanan didampingi pasukan pengawal untuk menanyakan tentang pengakuan saya atas legitimasi Otoritas. Namun jawaban saya tidak berubah. Kemudian, ia bertanya pada saya, “Apakah Anda yakin dengan apa yang ada dalam nasyrah (publikasi) itu?” Saya mengatakan kepadanya, “Saya sangat yakin seyakin-yakinya, bahkan saya meyakinkan setiap hurup sekalipun yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir sejak 1953. Sehingga bagaimanapun usaha Anda pada saya, dan Anda menyiksa saya, maka Anda sama sekali tidak akan pernah mampu menggoyah dan mengalahkan keyakinan saya.” Mendengar itu, wajahnya tampak merah dan sangat marah. Kemudia, ia dan para pengawalnya memukuli saya berkali-kali dengan keras.

Dan pagi harinya, mereka memindah saya ke Markas Besar Investigasi di kota al-Kholil (Hebron). Ketika kami sampai di sana, saya meminta untuk dibawa ke tempat layanan medis. Dan sayapun benar-benar pergi ke sana. Sehingga saya berhasil bertemu ibu saya yang sedang sakit untuk meyakinkannya bahwa saya baik-baik saja. Kemudian saya berkata kepadanya, “Jangan pernah datang ke sini lagi, dan menemui seseorang di antara bajingan-bajingan di sini. Saya baik-baik saja, dan jangan khawatir tentang keadaan saya.”

Kemudian, saya dimasukkan ke ruang investigasi, lalu ia bertanya kepada saya:

“Siapa yang memberi Anda publikasi-publikasi itu? Dimana Anda menyebarkannya, dan berapa jumlahnya? Apakah Anda yakin dengannya? Mengapa Anda mencaci kami?”

Saya menjawab tidak seperti yang ia inginkan. “Saya tidak menyebarkan apa-apa. Dan Anda tidak memberi saya kesempatan untuk menyebarkannya. Sekiranya Anda memberi saya kesempatan untuk menyebarkannya, tentu saya melakukannya. Dan saya sangat yakin seyakin-yakinnya dengan isi publikasi itu; dan jumlahnya 6. Oleh katena itu, kami katakan apa yang dapat kami katakan terkait Otoritas bahwa Otoritas ini begitu rendah dan hinanya di mata kaum kafir pendudukan, mengingat satu jeeb saja di antara jeeb-jeeb Yahudi telah membuat Anda bersembunyi di markas Anda. Dan inilah faktanya, baik Anda akui atau tidak.”

Lalu, ia berkata kepada saya bahwa teman Anda, Abdullah telah mengakui tentang Anda. Ia berkata bahwa ia yang telah memberikan Anda nasyrah (publikasi) itu. Saya katakan bahwa perkataan itu sama sekali tidak benar. Dan seandainya Abdullah mengakui sekalipun, maka Anda tidak akan bisa membuat saya mengakui tentang seorang pun. Bahkan sekalipun Abdullah datang dan berkata, “Saya yang memberi Anda nasyrah (publikasi) itu”, maka saya tetap tidak akan mengakui tentang seorang pun. Untuk itu, pertemukan saya dengan teman saya supaya kita tahu siapa yang dusta. Kemudian mereka menghadirkan teman saya, dan mereka berusaha menyakinkan di anrara kita. Dimana saya melihatnya bahwa mereka berkata kepada teman saya bahwa saya telah mengakui tentang dia. Namun, justru aebuah kebenaran yang tampak ketika kami dipertemukan. Posisi mereka sungguh tersudut dan memalukan, sebab teman saya justru berkata kepada mereka, “Bahwa Anda benar-benar kaum pendusta.”

Kemudian, ia meminta saya untuk menandatangani sebuah perjanjian, namun saya menolak. Pada saat itu, ada beberapa paman saya yang datang mengunjungi saya, dan menyakinkan saya. Tampaknya mereka telah menerima sebagian dari kezaliman, yang disampaikan kepada mereka, bahwa mereka akan membebaskan saya jika saya telah menandatangani perjanjian.

Ketika pertemuan berlangsung, maka paman-paman saya berkata kepada saya, “Wahai keponakan, ingat ibumu sedang sakit karena keberadaanmu di penjara, maka janganlah kamu menambah beban dan penderitaannya. Kamu tinggal menandatangani perjanjian ini, dan pergi bersama kami.” Saya berkata kepada mereka, “Janganlah kalian menekan saya, sebab ibu saya baik-baik saja. Saya ingin kalian mendukung dan meneguhkan sikap saya, dari pada kalian menekan saya. Sungguh! Saya tidak berharap sikap seperti ini datang dari kalian! Dan ingat! Selamanya saya tidak akan pernah menandatanganinya, sekalipun saya sampai busuk di dalam penjara.” Salah seorang paman saya berkata, “Jika ini yang kamu inginkan, maka bertawakkallah pada Allah, niscaya Allah pasti melindungimu.”

Kemudian, setelah sehari, saya dipindahkan ke penjara remaja. Dan di penjara ini saya tinggal selama dua hari tanpa dilakukan investigasi apa pun, kecuali suatu usaha pada hari terakhir yang dilakukan oleh direktur penjara remaja untuk meyakinkan saya agar menandatangani sebuah perjanjian hingga akhir cerita. Namun, semuanya tidak ada yang berhasil menyakinkan saya.

Dua hari kemudian, saya dipindahkan ke Jaksa Militer di pusat kota. Dan saya tinggal bersama mereka selama tiga hari. Mereka menginvestigasi saya lebih dari sekali dan dengan pertanyaan yang sama. Salah satunya adalah pertemuan dengan Jaksa (Penuntut Umum) Militer. Di mana ia menanyakan beberapa pertanyaan kepada saya, seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Namun, ia berbeda dari yang lain, sebab ia begitu tenang, sampai ia bertanya pada saya tentang sejauh mana keyakinan saya terhadap Hizbut Tahrir yang saya menjadi anggotanya. Saya menjawab bahwa saya terlah bergabung dan menjadi anggota partai yang agung, pemikirannya jelas, metodenya dikenal dan sesuai syariah; Hizbut Tahrir mengemban kebaikan Islam untuk semua manusia; Hizbut Tahrir bekerja dengan sekuat tenaga dan tekad yang kuat untuk menyelamatkan manusia dari kesengsaraan; dan suatu hari nanti Hizbut Tahrir yang agung ini juga akan menjadi penyelamat bagi Anda dari kehinaan yang Anda buat sendiri. Mendengar itu, ia pun sangat marah. Dan ia mulai mencaci Hizbut Tahrir, amirnya, dan para aktivisnya. Sikapnya itu telah membakar kemarahan saya, maka saya membalasnya melebihi apa yang ia katakan. Ia semakin marah, bahkan ia mengancam kelanjutan pendidikan saya dan masa depan saya. Kemudian, ia memerintahkan penjara 15 hari bagi saya. Dan kemudian mereka membawa saya kembali ke penjara.

Kemudian mereka kembali membawa saya kepadanya. Ia mulai bersumpah dan mengancam hingga saya menandatangani perjanjian. Namun, saya tidak menanggapinya dan tidak mempedulikannya. Kemudian ia berkata, “Sungguh, saya akan memaksa Anda untuk menandatanganinya.” Saya tetap tidak mempedulikannya. Kemudian, ia memanggil 6 orang pengawalnya. Ia meminta mereka untuk mendudukkan saya di atas kursi, yang 4 orang memegang tangan kiri saya dan menariknya ke belakang punggung saya, sementara yang 2 orang berusaha menaruh pena di tangan saya, namun saya melawan dan menggenggam tangan saya erat-erat hingga pena tidak dapat masuk. Dan Alhamdulillah, mereka tidak berhasil.

Selanjutnya, datang Wakil Jaksa (Penuntut Umum), dan membawa saya ke dalam ruang yang lain. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia tidak setuju dengan metode kekerasan yang digunakan terhadap saya untuk memaksa saya menandatangani perjanjian. Ia mulai berbicara dengan kata-kata yang manis dalam upaya untuk meyakinkan saya agar mau bertanndatangan, seperti perkataannya, “Ini bukan apa-apa, ini hanya sekedar kertas yang tidak penting.” Ia menyodorkan kertas kepada saya agar saya menandatanganinya. Saya membacanya, dan saya berkata, “Saya tidak akan pernah bertandatangan.” Kemudian, ia menyodorkan kertas lain, dengan cara lain, lalu saya katakan, “Saya tidak akan pernah bertandatangan.” Kemudian, ia berkata kepada saya, “Bertandatanganlah di atas kertas putih ini!” Saya berkata, “Subhanallah! Saya tidak mungkin menandatangani sesuatu yang tidak jelas?”

Kemudian ia menyodorkan kertas putih kepada saya, dan berkata, “Tulislah apa yang Anda inginkan, lalu tandatanganinya.” Saya merobek kertas itu. Kemudian, ia memberi saya kertas lain, dan berkata kepada saya, “Berpikirlah! Tulislah apa yang Anda inginkan, lalu tandatanganinya.” Saya pun berpikir. Lalu saya menulis di atas kertas itu teks berikut ini:

“Saya yang bertanda tangan di bawah ini, fulan bin fulan, dari kota ini, tinggal di tempat ini, diantara syabab (aktivis) Hizbut Tahrir, dimana saya begitu bangga dapat bergabung dengannya. Saya memutuskan bahwa saya akan tetap bergabung dengan Hizbut Tahrir, melakukan dakwah kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahi mungkar, melakukan perjuangan politik, serangan pemikiran, serta akan selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan Hizbut Tahrir dan aktivitasnya, seperti masirah (unjuk rasa), dan sebagainya.” Dan kemudian saya menandatanganinya.

Ia memperhatikannya, kemudian ia tampak mengahapus beberapa hal yang aku tidak tahu maksud dari tindakannya.

Kemudian setelah itu baru ia memerintahkan untuk melepaskan saya. Mereka membawa saya ke sebuah kota yang saya tidak mengenali jalannya. Saya tidak tahu bagaimana saya pergi dan ke mana saya harus pergi. Sementara, saya tidak ada uang sama sekali untuk ongkos naik kendaraan untuk pulang kembali ke kota saya. Sehingga akhirnya Allah mengirim orang baik kepada saya untuk membantu saya pulang kembali ke rumah saya.

Inilah apa yang terjadi pada saya. Dan hanya kepada Allah, saya memohon pahala, ampunan, kesehatan, dan kekuatan.

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 10/2/2010.
Read More..

Obama Musuh Umat Islam

Tak beberapa lama lagi, Presiden Barack Obama akan mengunjungi Indonesia. Pemerintah membuka pintu lebar-lebar terhadapnya karena dianggap akan memberi keuntungan bagi Indonesia.
Bahkan, pemerintah meminta rakyat untuk menghormati tamu kehormatan pemerintah tersebut. Seperti apa sikap yang harus ditunjukkan oleh umat Islam, berikut wawancara wartawan Media Umat Mujiyanto dengan Jubir HTI M Ismail Yusanto.

Obama akan mengunjungi Indonesia. Sikap apa yang harus ditunjukkan umat Islam?

Tolak.

Mengapa kedatangannya harus ditolak?

Obama adalah presiden dari sebuah negara yang saat ini jelas-jelas tengah menjajah negeri Muslim, seperti Irak dan Afghanistan. AS juga terus menyerang wilayah perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Akibatnya, negara-negara itu kini hancur berantakan. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tak terhitung besarnya kerugian yang ditimbulkan. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rakyat di sana meninggal karenanya. Menurut penelitian John Hopkins University, akibat invasi AS ke Irak sejak tahun 2003 lebih dari 1 juta warga sipil Irak tewas. Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua tragedi ini? Amerika Serikat tentu. Dan kini negara itu dipimpin oleh Obama. Memang dulu ketika AS menginvasi Irak dan Afghanistan, AS dipimpin oleh Presiden Bush. Tapi Obama tidak mengubah kebijakan biadab itu. Memang pernah ada rencana untuk menarik pasukan dari Irak tapi hingga sekarang belum diwujudkan. Ia bahkan sudah memutuskan menambah 30 ribu pasukan ke Afghanistan. Itu artinya tingkat kerusakan dan penderitaan rakyat di sana, termasuk yang kemungkinan bakal tewas, akan meningkat.

Nah, sosok presiden seperti itulah yang rencananya akan mengunjungi negeri kita. Sebuah sosok yang kejam, yang tidak beda dengan Bush, yang tangannya berlumuran darah dan yang tidak memiliki rasa belas kasih sedikitpun. Ia misalnya, hingga sekarang tidak sedikitpun mengungkapkan rasa simpati terhadap para korban tragedi Gaza setahun lalu. Jangankan simpati terhadap korban atau kutukan terhadap pelaku, menyinggung peristiwa itu saja tidak pernah ia lakukan. Dalam pidato inagurasi atau pelantikannya sebagai Presiden, tak sedikitpun ia menyinggung soal Gaza. Padahal itu peristiwa besar dengan korban lebih dari 1.300 orang tewas, yang telah menarik perhatian masyarakat dunia. Tapi bagi Obama, tragedi Gaza itu seolah tidak pernah ada.

Tambahan lagi, sebagai negara, Indonesia dalam pembukaan konstitusi telah menegaskan penentangannya terhadap segala bentuk penjajahan, dan karenanya penjajahan itu harus dihentikan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dalam konteks Obama, kalau konsisten dengan prinsip ini semestinya Indonesia juga harus menentang penjajahan yang dilakukan oleh AS di Irak dan Afghanistan. Dan bentuk paling ringan penentangan itu adalah menolak kehadiran presiden dari negara penjajah itu.

Berarti ia adalah musuh umat Islam?

Ya. Jelas sekali. Dengan semua tindakan itu, berarti AS memang telah secara sengaja memusuhi umat Islam. Serangan pada satu negeri Islam hakikatnya adalah serangan terhadap seluruh umat Islam. Karena itu, dalam pandangan syariat Islam, AS sekarang ini termasuk kategori muhariban fi’lan atau negara yang dalam status perang secara de facto.

Bila AS telah mengambil sikap memusuhi umat Islam, dan tidak tampak tanda-tanda untuk menghentikan permusuhan itu meski sudah diingatkan, bahkan sudah pula diprotes oleh jutaan rakyat dari berbagai negara di dunia termasuk oleh rakyatnya sendiri, mengapa kita lantas memaksa-maksa untuk bersahabat dengannya?

Bagaimana dengan pendapat orang bahwa Obama adalah tamu yang harus dihormati?

Obama memang tamu. Tapi tamu itu ada dua macam. Tamu yang baik dan tamu yang bermasalah. Obama adalah jenis tamu yang kedua, karena dia hingga sekarang terus menghancurkan negeri-negeri Muslim dan membunuhi saudara-saudara kita di berbagai negara.

Saya ingin tanya, andai ketika dulu masih hidup Imam Samudera berkunjung ke rumah SBY, kira-kira bakal diterima nggak? Pasti ditolak, to? Mengapa? Karena Imam Samudera dianggap sebagai pembunuh. Dan pembunuh tidak layak diterima sebagai tamu terhormat, apalagi oleh seorang Presiden.

Nah, yang bakal datang nanti adalah orang yang tingkat kejahatannya jauh lebih besar dari apa yang mungkin dilakukan oleh Imam Samudera. Imam Samudera (menurut tuduhan) meledakkan 3 ton bom di sepenggal jalan di Denpasar, melukai dan menewaskan ratusan jiwa serta merusak ratusan bangunan. Sementara yang dilakukan oleh Obama adalah terus menjajah dan menghancurkan dua buah negara berdaulat dengan ratusan juta jiwa penduduk tinggal di sana. Akibatnya, bukan hanya ratusan orang tapi ratusan ribu orang tewas.

Kira-kira agenda apa yang dibawa Obama ke Indonesia?

Pasti adalah agenda untuk mengokohkan kepentingan politik dan ekonomi AS di negeri ini. Indonesia adalah negara yang sungguh penting buat AS. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Kaya sumberdaya alam, khususnya energi, dan pasar yang sangat potensial untuk produk-produk ekspor AS. Sangat banyak perusahaan AS di bidang migas seperti Chevron dan Exxon Mobil serta perusahaan pertambangan seperti Freeport Mc Moran yang beroperasi di Indonesia. Dan dari perusahaan-perusahaan itu, sangat banyak AS menikmati kekayaan negeri ini. Apalagi kini AS tengah bersaing secara ekonomi dengan China. Kunjungan Obama ke Indonesia untuk memastikan bahwa Indonesia tetap dalam genggamannya.

Memang ada nuansa nostalgia karena Obama semasa kecil pernah sekolah di Jakarta. Tapi itu amat sangat tidak penting. Kita tidak boleh terkecoh. Tidak mungkin lah presiden dari sebuah negara imperialis sebesar AS datang ke sebuah negara untuk sekadar bernostalgia.

Akankah kunjungan ini menguntungkan Indonesia? Ada sebagian orang mengatakan bahwa bertindak keras kepada AS akan merugikan Indonesia.

Mungkin saja ada keuntungan, tapi bila dibandingkan dengan kerugian, pasti kerugian itu lebih besar.

Kita selama ini memang telah dikungkungi rasa takut. Seolah kita akan hancur bila melawan AS. Tapi lihatlah negara seperti Venezuela, Bolivia dan negara-negara Amerika Latin. Juga Iran yang berani tegas terhadap AS, buktinya mereka tidak hancur. Bahkan dengan cara itu, mereka justru makin maju. Iran bisa terus memanfaatkan nuklir untuk sumber energi. Lebih dari 80% hasil migas Venezuela dan Bolivia kini bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Ini jumlah yang berkebalikan dari sebelumnya yang hanya 20%. Itu semua didapat melalui program nasionalisasi yang tentu amat ditentang oleh AS. Jadi justru karena menentang AS mereka menjadi untung, bukan buntung. Sementara, kita?

Obama pernah melewati masa kecilnya di Indonesia dan katanya neneknya juga beragama Islam. Komentar Anda?

Riwayat hidup Obama yang masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta, juga ada di antara nenek moyangnya yang beragama Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengistimewakan dirinya. Obama, ya Obama. Kita menilai dari apa yang dia lakukan, khususnya selama ia menjadi Presiden AS.

Jangankan sekadar pernah tinggal, seorang warga negara Indonesia yang Muslim sekalipun bila tangannya berlumuran darah, membunuh banyak orang tetap saja harus kita hukum. Ingatlah pada sebuah hadits di mana Rasulullah menyatakan bahwa andai Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri niscaya pasti juga akan dipotong tangannya. (MediaUmat.com)

Read More..